Selasa, 23 Maret 2010

Global Village

Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT, information and communication technology)-lah, yang memperkecil perbedaan jarak dan waktu. Inipula yang menjadikan dunia seperti mengecil, atau disebut oleh Peter Golding dalam Global Village or Cultural Pillage? (Rober W McChesney, 1998) masyarakat dunia seperti berada dalam sebuah desa yang disebutnya Desa Global, global village.
Pada perkembangannya, perputaran dunia menghasilkan ide-ide yang mengerucut dalam upayanya menjunjung tinggi kebebasan (hak) individu pada bingkai persamaan. Arus ini berkembang berkesinambungan membentuk opini yang disebut sebagai globalisasi. Isu ini berputar menyentuh aspek-aspek telekomunikasi, transportasi, politik, ekonomi, ilmu dsb. yang menetralisir sekat-sekat yang kini eksis karena adanya negara.
Terlepas dari apapun kepentingannya, tampaknya isu globalisasi ini (pada sudut pandang politis) menyadarkan kita bahwa semangat separatisme yang kini mapan dalam kemasan nasionalisme bukanlah lagi merupakan hal yang penting yang patut dibela. Globalisasi menyeret kita pada apa yang disebut sebagai perkampungan dunia (Global Village). Sebuah perkampungan bayangan yang tentunya mempunyai nilai-nilai yang dijadikan pijakan yang bersifat mewakili (universal), sehingga batas wilayah, kekuasaan, kebudayaan, ekonomi, pertahanan dan keamanan tidak lagi berperan.
Selanjutnya seperti dalam draft WTO bahwa pada 2020 hendaknya konsep status kewarganegaraan harus dihapuskan, sehingga terbentuk satu dunia tanpa batas dan lebih universal. Kondisi ini tentunya menggiring dunia pada satu pemerintahan ( bayangan ) yang berfungsi mengontrol segala aktivitas didalamnya. Sehingga warga dunia lebih bebas dan tidak terikat untuk berhubungan dengan siapapun di dunia tanpa pembatasan, dan mengumpulkan manusia pada satu tali persaudaraan. Namun bukan berarti negara-negara itu ditiadakan. Negara masih tetap eksis sebagai bentuk kesepakatan warga dunia tertentu untuk kesejahteraan dan kepentingannya masing-masing. Perkampungan dunia ini hanya sebagai pengontrol ketertiban antar negara ataupun mencegah ke-otoriter-an negara terhadap warganya.
Perkampungan global ini dibangun diatas nilai-nilai yang masih belum jelas. Perbedaan kepentingan adalah suatu kenyataan diantara para penghuni dunia ini. Kondisi globalized world ini menjadikan dunia justru kembali pada satu titik dimana kekuatan akan dipandang sebagai tuhan. Perang hegemoni antar negara hanya akan kembali dimenangkan oleh mereka yang yang mempunyai kekuatan besar (negara adidaya), sehingga hasilnya hanya negara adidaya yang berhasil mengendalikan pemerintahan universal ini untuk memakai nilai pijakan yang mereka inginkan.
Seperti sekarang kita lihat betapa demokrasi dan HAM seolah-olah dipandang sebagai konsep yang ideal dan mewakili (universal). Bukanlah hal yang aneh memang, kita ketahui bahwa hal itu tidak terlepas dari upaya AS sebagai negara adidaya satu-satunya. Peran the Police of 'perkampungan dunia' untuk mengontrol ini sepertinya mengarah sampai pada bentuk hegemoni dan kolonialisme terselubung. Pembenaran atas nama demokrasi dan HAM (oleh dorongan AS) menjadikan demokrasi didunia itu sendiri menjadi bahan tertawaan.
Betapa tidak, demokrasi yang diajarkan oleh AS hanya menunjukan pada kita bahwa demokrasi itu tidak menghargai perbedaan. Proses demokratisasi untuk setiap negara-negara didunia telah melemahkan arti demokrasi itu sendiri.
Perang terhadap pemerintah sah Afghanistan dan perang terhadap pemerintahan Iraq adalah bukti nyata dari kolonialisme berkedok penegakan demokrasi dan HAM. Amerika Serikat dan sekutunya melanggar semua bentuk hukum internasional, dan dunia semuanya terdiam. Inilah panorama dari the global village.
'perkampungan global' seakan dibuat sebagai sarana oleh negara-negara adidaya dalam upayanya menghegemoni negara-negara lain dengan cara yang halus. 'perkampungan dunia' juga seakan dibuat sebagai pengontrol dunia yang didasarkan pada nilai-nilai yang dipaksakan oleh negara-negara adidaya.
Glokalisasi
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pakar-pakar yang bersangkutan didalamnya, sehingga konsep baru muncul yang disebut sebagai gerakan Glokalisasi. Sebuah usaha proteksi terhadap ekses negatif dari globalisasi. Dengan menduniakan budaya lokal yang dikemas dalam bentuk (percampuran) ke-universalan (baca: budaya barat). Namun usaha ini ternyata masih belum menghasilkan penyelesaian yang kongkrit. Dapat dikatakan bahwa upaya ini hanya melindungi secara sebagian saja, bukan menghilangkan dengan mutlak pengaruh (baca: hegemoni) dari negara adidaya.
Isu globalisasi adalah sebuah usaha yang dijadikan jembatan dalam rangka transformasi bentuk kolonialisme modern. Dan seperti yang kita ketahui bahwa bentuk itu kita kenal dengan kapitalisme
Usaha Pembantaian ideology
Hegemoni negara-negara barat (AS & sekutunya) sebenarnya bukan terbatas masalah ekonomi saja yang menjadi tujuan utamanya, tetapi lebih dari itu. Propaganda dan agitasi politik dalam upaya menetralisir kemungkinan kekuatan besar yang kini sedang tertidur selama 82 tahun (khilafah) sebenarnya yang menjadi alasan utamanya. Demokrasi diklaim sebagai nilai-nilai yang universal oleh 'perkampungan dunia' boneka mereka. Sehingga proses demokratisasi menjadi wajib bagi seluruh kekuatan yang berkuasa (negara-negara).
Upaya ini tidak lebih dari usaha untuk menghancurkan ideologi yang bertentangan dan bahkan yang mungkin bisa menghancurkan “kefasisan demokrasi” yang mereka anut. Kemajemukan bukanlah alasan yang kuat untuk menjadikan kefasisan demokrasi ini terus disembah, karena sebenarnya yang akan terjadi pada dunia ini pasti akan kembali pada kefasisan, bukan lagi terbatas pada ras tertentu, tetapi telah bertransformasi menjadi sebuah bentuk kefasisan ideologi.
Telah jelas dalam Al-Qur'an yang haq, bahwa selamanya mereka (orang kafir) akan memusuhi kita sampai kita mau menjadi bagian dari mereka. Berbagai cara, kasar ataupun halus mereka tetap akan memusuhi kita. Generasi penerus kita akan terus dijauhkan dari al-qur'an. Sunnah dipandang sebagai bentuk hidup yang merupakan budaya arab dan dipandang tidak sesuai lagi dengan kondisi hidup kita disini. Al-Qur'an dan Sunnah tidak lagi relevan! Hanya logika dan filsafat yang mengakomodasi kemajemukan yang akan relevan dengan hidup kita disini. Sangat ironis memang, globalisasi ilmu telah menjauhkan kita dari diri kita yang sebenarnya secara fitrah.
Standarisasi ilmu, budaya, bahkan ideologi berpijak dari barat. Barat yang dengan kapitalismenya dan budaya kebinatangannya, kita sembah dengan penuh taqlid.
Penghancuran ideologi kini sedang berlangsung, disini atau dimanapun tempatnya. Isu terorisme adalah bentuk nyata permusuhan yang telah mereka buat secara terang-terangan untuk menghancurkan Ideologi Islam secara kasar. Jelas sudah globalisasi adalah salah satu instrumen dalam usaha untuk mendistorsi pemikiran, budaya, politik, mengekalkan riba, yang secara halus melakukan pembantaian terhadap Islam dari pikiran kaum Muslimin.
Menurut Peter Golding, penguasaan teknologi berada di tangan segelintik pemodal (kapitalis) yang jumlahnya dalam hitungan jari. Dengan nada sindirian, ia menilai situasi global yang sedang berlangsung saat ini bukan saja menjadikan warga dunia berada dalam global village; Tetapi peradaban masyarakat berada dalam situasi cultural pillage atau penjarahan budaya dalam genggaman kapitalis.
• revolusiana.blogspot.com
• m.sripoku.com

Tidak ada komentar: