Selasa, 06 Oktober 2009

PERS REFORMASI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 mei 1998 silam membawa aura baru di dunia pers. Berakhirnya Orde baru mengalirkan kebebasan berekspresi melalui media ataukebebasan pers. Pada saat itu media massa (terutama cetak) tumbuh bagai jamur di musim hujan. Organisasi, profesi dan partai politik ramai-ramai menerbitkan surat kabarmaupun majalah. Mereka bersaing menarik pembaca sebanyak-banyaknya dengan tampilan lay-out dan desainyang beragam. Booming media cetak terjadi pada masa pemerintah Habibie dengan Menteri Penerangan Letjen TNI Muhamad Yunus Yosfiah. Pada saat itu Yunus Yospiah menerangkan kebijakan pers yang lebih liberal dengan memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk bisa memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Di saat itu SIUPP dapat diperoleh hanya dalam waktu satu minggu, tanpa hars membayar. Akibatnya dalam masa pemerintaan Habibie yang singkat Mei 1998-Oktober 1999, sudah di keluarkan lebih dari 1.600 SIUPP baru. Padahal selama 32 tahun era Soeharto, hanya sekitar 300 SIUPP yang di keluarkan.
Pada saat pasca reformasi, SIUPP akhirnya dihapuskan. Sejak itu jumlah penerbitan pers di Indonesia membengkak drastic. Tahun 2000 diperkirakan penerbitan pers mencapai sekitar 1800-2000 penerbit. Menurut Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), hanya 30% saja yang mapan secara keuangan. Surat kabar Indonesia menghadapi masalah klasik berupa rendahnya minat baca dan daya beli. Akibatnya banyak surat kabar yang gulung tikar.
Masa euforia kebebasan pers kian menguat saat Abdurahman Wahid berkuasa. Presiden RI- ke-4 ini bahkan membubarkan Departemen Penerangan. Sebuah lembaga yang menjadi symbol structural pengekangan pers. Lagi-lgi media pun tumbuh menjamur. Sebagian cukup berkualitas dan sebagian lagi lebih mengarah pada kategorio surat kabar kuning. Dalam surat kabar tersebut banyak sekali ditemukan judul yang vulgar, provokatif, pernyataan yang kurang etis dan gambar-gambar yang mengarah pada fornografi.
Para insani media yang masih punya idealisme tinggi membentuk asosiasi-asosiasi baru yang concern pada masalah etika pers, misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pemerintah pun memberlakukan Undang-Undang No.40 Thun 1999 tentang pers. Undang-undang inilah yang kemudian menjdi tonggak kebebasan pers era reformasi.

1.2 Perumusan Masalah
1. Apa pers itu?
2. Apa reformasi itu?
3. Bagaimana pers masa reformasi itu?

1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pers
2. Untuk mengetahui pengertian reformasi
3. Untuk mengetahui bagaimana pers pada masa reformasi
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pers
Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekanata mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata perss dalam bahasa Inggris yang jga berarti menekan atau mengepres. Jadi secara harfiah kata pers atau perss menagcu pada pengertian komunikasi yan dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi untuk sekarang kata pers ata perss ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita baik oleh wartawan media elektronik mapun media cetak.
Berdasarkan uraian di atas, ada dua pengertian pers, yaitu dalam arti kata sempit yaitu yan menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan, sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkt kegiatan komunikasi baik yang dilakkan dengan media cetak maupun dengan media elektronik.

2.2 Pengertian Reformasi
Kata reformasi berasal dari bahasa Inggris reformation (dari kata kerja to
reform,membentuk kembali).Jelas bahwa yang diubah adalah bentuk.Sekadar
untuk ilustrasi,saya ambil contoh sejarah reformasi gereja di Eropah dalam
abad ke 16 yang dimulai oleh Martin Luther.Karena itu Martin Luther disebut
sebagai reformator.Inti ajaran tidak diubah,cuma caranya melaksanakan
ibadah,hirarki dalam gereja dan beberapa peraturan yang tidak berdasarkan
Kitab Injil yang berubah.
Reformasi juga berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.
Reformasi bisa berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.

2.3 Pers Reformasi
Kelahiran Orde Reformasi sejak pukul 12.00 siang kamis 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya BJ Habibie, di sambut penuh suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Rasanya, jangankan orang, binatang pun di hutan-hutan ikut berjingkrak dan bernyanyi menyambut reformasi. Terjadila euforia dimana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta merta dibubarkan.
Secara yuridis, UU Pokok Pers No.21/1982 pun di ganti dengan UU Pokok Pers No.40/1999. dengan undang-undang dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun. Tak ada lagi kewajiban hanya amenginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan Pasal 9 Ayat (1) UU Pokok Pers No.40/1999. , setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat (2) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Kewenaganan yang di miliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU Pokok Pers No.40/1999, pers nasional melaksanakan peranan :
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; yang berkaitan dengan kepentingan umum
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Apa arti dan maknanya? Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar di jamin dan senantiasa di perjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama : pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka menurut kaidah demokrasi, hak asasi manusia dan tentu saja supremasi hukum. Jadi bukan sebatas hiasan peraturan seperti pada zaman Orde Baru. Ini sejalan dengan amanat pasal (2) UU Pokok Pers No.40/1999 yang menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang bertasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Secara kuantitatif, dalam 5 tahun pertama era reformasi 1998-2003, jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan sangat pesat. Dalam kurun ini setidaknya tercatat 600 persahaan penerbit pers baru, 50 diantaranya terdapat di Jawa Barat. Jumlah ini sama dengan jumlah perusahaan penerbit pers lama dalam era Orde Baru. Harus diakui, hasrat dan minat masyarakat menerbitkan pers dalam 5 tahun pertama-kedua masa reformasi, bisa disebut di setiap kota di Pulau Jawa setidaknya terdapat 10 perusahaan penerbit pers baru dengan komposisi 70% terbit mingguan dan 30% terbit harian.
Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung reformasi itu, ternyata tidak berlangsung lama. Dari seluruh perusahaan penerbit pers baru, 70% gulung tikar palng lama pada tahun ke-3, 20% berikutnya tutup layar pada tahun ke-4, dan hanya 10 % saja yang masih mencoba terus bertahan melewati tahun ke-5.
Kenyataan tersebut menunjukan, kemerdekaan yang diraih pers secara ideologis dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Secara historis, pers Indonesia yang dulu di kenal dan menamakan diri sebagai pers perjuangan, dilahirkan untuk hidup. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.
Atas dasar itu lah, pers nasional yang sekarang tetap terbit dan terus bertahab di seluruh pelosok di indonesia, berusaha untuk senantiasa merujuk pada pedoman filosofis itu. Sekali lahir, pantang bagi mereka untuk mati. Tidak demikian halnya bagi sebagian pers yang lahir dalam era reformasi. Mereka begitu mudah untuk lahir, tapi jauh lebih mudah lagi untuk mati. Seolah-olah, sebagian besar dari mereka ditakdirkan lahir untuk mati. Bila dianalisis, mereka ternyata belum memiliki tiang penyangga utama yang kokoh sebagai syarat mutlak pendirian bangunan pers : idealisme, komersialisme, profesionalisme.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebelas tahun sudah jalan kebebasan pers terbuka, tapi pers Indonesia belum menemukan jati dirinya. Pers yang kebablasan dengan eksploitasi kekerasan, kriminalitas, dan pornografi sebagai resep manjur untuk bertahan di tengah persaingan industri media menjadi isu utama. Dari kasus-kasus tersebut muncul kembali isu wacana untuk membuat rambu-rambu yang lebih tegas. Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus di cermati.





















DAFTAR PUSTAKA

• Ardianto Elvinaro & Karlinah Siti & Komala Lukiati. 2007, Komunikasi Massa, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
• Kusumaningrat Hikmat & Kusumaningrat Purnama. 2006, Jurnalistik Teori & Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya.
• Sumadiria Haris. 2005, Jurnalistik Indonesia, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
• id.wikisource.org/.../Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_40_Tahun_1999
• re-searchengines.com/nurkolis2.html
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 mei 1998 silam membawa aura baru di dunia pers. Berakhirnya Orde baru mengalirkan kebebasan berekspresi melalui media ataukebebasan pers. Pada saat itu media massa (terutama cetak) tumbuh bagai jamur di musim hujan. Organisasi, profesi dan partai politik ramai-ramai menerbitkan surat kabarmaupun majalah. Mereka bersaing menarik pembaca sebanyak-banyaknya dengan tampilan lay-out dan desainyang beragam. Booming media cetak terjadi pada masa pemerintah Habibie dengan Menteri Penerangan Letjen TNI Muhamad Yunus Yosfiah. Pada saat itu Yunus Yospiah menerangkan kebijakan pers yang lebih liberal dengan memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk bisa memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Di saat itu SIUPP dapat diperoleh hanya dalam waktu satu minggu, tanpa hars membayar. Akibatnya dalam masa pemerintaan Habibie yang singkat Mei 1998-Oktober 1999, sudah di keluarkan lebih dari 1.600 SIUPP baru. Padahal selama 32 tahun era Soeharto, hanya sekitar 300 SIUPP yang di keluarkan.
Pada saat pasca reformasi, SIUPP akhirnya dihapuskan. Sejak itu jumlah penerbitan pers di Indonesia membengkak drastic. Tahun 2000 diperkirakan penerbitan pers mencapai sekitar 1800-2000 penerbit. Menurut Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), hanya 30% saja yang mapan secara keuangan. Surat kabar Indonesia menghadapi masalah klasik berupa rendahnya minat baca dan daya beli. Akibatnya banyak surat kabar yang gulung tikar.
Masa euforia kebebasan pers kian menguat saat Abdurahman Wahid berkuasa. Presiden RI- ke-4 ini bahkan membubarkan Departemen Penerangan. Sebuah lembaga yang menjadi symbol structural pengekangan pers. Lagi-lgi media pun tumbuh menjamur. Sebagian cukup berkualitas dan sebagian lagi lebih mengarah pada kategorio surat kabar kuning. Dalam surat kabar tersebut banyak sekali ditemukan judul yang vulgar, provokatif, pernyataan yang kurang etis dan gambar-gambar yang mengarah pada fornografi.
Para insani media yang masih punya idealisme tinggi membentuk asosiasi-asosiasi baru yang concern pada masalah etika pers, misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pemerintah pun memberlakukan Undang-Undang No.40 Thun 1999 tentang pers. Undang-undang inilah yang kemudian menjdi tonggak kebebasan pers era reformasi.

1.2 Perumusan Masalah
1. Apa pers itu?
2. Apa reformasi itu?
3. Bagaimana pers masa reformasi itu?

1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pers
2. Untuk mengetahui pengertian reformasi
3. Untuk mengetahui bagaimana pers pada masa reformasi
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pers
Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekanata mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata perss dalam bahasa Inggris yang jga berarti menekan atau mengepres. Jadi secara harfiah kata pers atau perss menagcu pada pengertian komunikasi yan dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi untuk sekarang kata pers ata perss ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita baik oleh wartawan media elektronik mapun media cetak.
Berdasarkan uraian di atas, ada dua pengertian pers, yaitu dalam arti kata sempit yaitu yan menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan, sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkt kegiatan komunikasi baik yang dilakkan dengan media cetak maupun dengan media elektronik.

2.2 Pengertian Reformasi
Kata reformasi berasal dari bahasa Inggris reformation (dari kata kerja to
reform,membentuk kembali).Jelas bahwa yang diubah adalah bentuk.Sekadar
untuk ilustrasi,saya ambil contoh sejarah reformasi gereja di Eropah dalam
abad ke 16 yang dimulai oleh Martin Luther.Karena itu Martin Luther disebut
sebagai reformator.Inti ajaran tidak diubah,cuma caranya melaksanakan
ibadah,hirarki dalam gereja dan beberapa peraturan yang tidak berdasarkan
Kitab Injil yang berubah.
Reformasi juga berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.
Reformasi bisa berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.

2.3 Pers Reformasi
Kelahiran Orde Reformasi sejak pukul 12.00 siang kamis 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya BJ Habibie, di sambut penuh suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Rasanya, jangankan orang, binatang pun di hutan-hutan ikut berjingkrak dan bernyanyi menyambut reformasi. Terjadila euforia dimana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta merta dibubarkan.
Secara yuridis, UU Pokok Pers No.21/1982 pun di ganti dengan UU Pokok Pers No.40/1999. dengan undang-undang dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun. Tak ada lagi kewajiban hanya amenginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan Pasal 9 Ayat (1) UU Pokok Pers No.40/1999. , setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat (2) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Kewenaganan yang di miliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU Pokok Pers No.40/1999, pers nasional melaksanakan peranan :
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; yang berkaitan dengan kepentingan umum
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Apa arti dan maknanya? Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar di jamin dan senantiasa di perjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama : pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka menurut kaidah demokrasi, hak asasi manusia dan tentu saja supremasi hukum. Jadi bukan sebatas hiasan peraturan seperti pada zaman Orde Baru. Ini sejalan dengan amanat pasal (2) UU Pokok Pers No.40/1999 yang menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang bertasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Secara kuantitatif, dalam 5 tahun pertama era reformasi 1998-2003, jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan sangat pesat. Dalam kurun ini setidaknya tercatat 600 persahaan penerbit pers baru, 50 diantaranya terdapat di Jawa Barat. Jumlah ini sama dengan jumlah perusahaan penerbit pers lama dalam era Orde Baru. Harus diakui, hasrat dan minat masyarakat menerbitkan pers dalam 5 tahun pertama-kedua masa reformasi, bisa disebut di setiap kota di Pulau Jawa setidaknya terdapat 10 perusahaan penerbit pers baru dengan komposisi 70% terbit mingguan dan 30% terbit harian.
Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung reformasi itu, ternyata tidak berlangsung lama. Dari seluruh perusahaan penerbit pers baru, 70% gulung tikar palng lama pada tahun ke-3, 20% berikutnya tutup layar pada tahun ke-4, dan hanya 10 % saja yang masih mencoba terus bertahan melewati tahun ke-5.
Kenyataan tersebut menunjukan, kemerdekaan yang diraih pers secara ideologis dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Secara historis, pers Indonesia yang dulu di kenal dan menamakan diri sebagai pers perjuangan, dilahirkan untuk hidup. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.
Atas dasar itu lah, pers nasional yang sekarang tetap terbit dan terus bertahab di seluruh pelosok di indonesia, berusaha untuk senantiasa merujuk pada pedoman filosofis itu. Sekali lahir, pantang bagi mereka untuk mati. Tidak demikian halnya bagi sebagian pers yang lahir dalam era reformasi. Mereka begitu mudah untuk lahir, tapi jauh lebih mudah lagi untuk mati. Seolah-olah, sebagian besar dari mereka ditakdirkan lahir untuk mati. Bila dianalisis, mereka ternyata belum memiliki tiang penyangga utama yang kokoh sebagai syarat mutlak pendirian bangunan pers : idealisme, komersialisme, profesionalisme.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebelas tahun sudah jalan kebebasan pers terbuka, tapi pers Indonesia belum menemukan jati dirinya. Pers yang kebablasan dengan eksploitasi kekerasan, kriminalitas, dan pornografi sebagai resep manjur untuk bertahan di tengah persaingan industri media menjadi isu utama. Dari kasus-kasus tersebut muncul kembali isu wacana untuk membuat rambu-rambu yang lebih tegas. Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus di cermati.





















DAFTAR PUSTAKA

• Ardianto Elvinaro & Karlinah Siti & Komala Lukiati. 2007, Komunikasi Massa, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
• Kusumaningrat Hikmat & Kusumaningrat Purnama. 2006, Jurnalistik Teori & Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya.
• Sumadiria Haris. 2005, Jurnalistik Indonesia, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
• id.wikisource.org/.../Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_40_Tahun_1999
• re-searchengines.com/nurkolis2.html

Tidak ada komentar: