Senin, 14 Juni 2010

Games Tradisional Tak Diminati Lagi

Nama Pipit Nurhotimah
207 400 498
Jurnalistik C/VI

Saat ini, permainan tradisional kian tersisih, tertinggal bahkan terlupakan. Padahal dulu permainan tradisional anak-anak begitu marak, dengan majunya perkembangan informasi, komunikasi dan teknologi telah menggantikan permainan tradisional anak-anak memasuki era komputerisasi dan digitalisasi.
Salah satunya Orang tua siswa SD Al-Irsyad Kota Bandung, Arief menyatakan, saat ini mulai anak-anak hingga dewasa memiliki hobi asyik menonton di depan layar TV, komputer, dan handphone untuk bermain game.
“Permainan modern memang bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja. Tidak jarang pula anak-anak membawa HP ke sekolah untuk main game di waktu istirahat atau ketika ada guru yang berhalangan hadir,” ungkapnya.
Meskipun, lanjut Arief, sekolah sudah melarang siswa-siswa membawa HP namun ternyata masih banyak siswa yang tetap membawa. Mereka memanfaatkan HP bukan hanya sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana hiburan.
Sementara itu, permainan modern yang saat ini menjadi idola baru bagi anak-anak sangat tidak mendidik, cenderung individual, materialistis, ingin menang sendiri, dan masih banyak efek negatif lainnya.
Ironis memang, terang Arief, permainan modern yang sebagian besar berasal bukan dari negara sendiri, justru semakin digemari. Padahal, permainan tradisional dapat menjadi identitas warisan budaya bangsa ditengah keterpurukan kondisi bangsa saat ini.
“Permaianan tradisional ini lebih riil mengajarkan kepada anak-anak mengenai kerja sama yang baik, toleransi, saling menghargai dan menjunjung tinggi obyektifitas dan keadilan.Ini pendidikan langsung dan nyata, ketimbang permainan modern yang lebih bersifat maya dan menonjolkan kompetitif individual,” beber Arief.
Sementara salah satu pemerhati Budaya dari Bandung Timur Sutan Wahyu Joko Subroto (Bob Udjo) menyatakan, permainan tradisional bisa mengasah kemampuan motorik anak, baik kasar maupun halus, serta gerak refleksnya.
“Selain gerakan motorik, anak juga dilatih bersikap cekatan, berkonsentrasi, dan melihat peluang dengan cepat untuk mengambil keputusan terbaik agar bisa menangkap lawan,” jelasnya.
Seperti permainan dakon/congklak, lanjut dia, manfaatnya anak dapat merangsang menggunakan strategi. Anak harus pandai menentukan poin atau biji di lubang mana yang harus diambil terlebih dahulu, agar bisa mengumpulkan biji lebih banyak dari lawan.
Melihat manfaat-manfaat tersebut dijelaskan, sebenarnya permainan tradisional ini penting dilakukan oleh anak-anak zaman sekarang. Selain untuk memperoleh manfaat yang tidak bisa didapat dari permainan modern, juga untuk mendapatkan wacana lain yang bisa membuat hidup anak lebih kreatif. “Misalnya,memanfaatkan bahan-bahan disekitar lingkungan seperti Bebedilan dibuat dari Gebog Cau (Pohon Pisang) dan Wawayangan dari Daun Singkong,” ucap Bob.
“Permainan-permainan tradisional ini memiliki nilai positif, anak menjadi lebih banyak bergerak sehingga terhindar dari masalah obesitas anak. Sosialisasi mereka dengan orang lain akan semakin baik karena dalam permainannya dimainkan minimal oleh 2 anak, ungkapnya.
Kendalanya untuk dibudayakannya permainan tradisional, terang Bob, adalah terbatasnya lapangan jika di kota, sementara banyak permainan tradisional yang memerlukan arena luas. Kendala lainnya adalah karena larangan dari orang tua. Mereka takut anak-anak mereka terluka, atau kotor.
“Hasilnya, banyak orang tua yang memberikan mainan elektronik yang disukai anak,” cetusya. Padahal, kata Bob, permainan ini cenderung membuat anak sulit bersosialisasi sehingga anak menjadi pemalu, penyendiri dan individualistis. Juga makin banyak anak menjadi obesitas karena kurang bergerak.
Rahma (7th) warga Komplek Panyileukan masih mendambakan betapa baiknya bermain permainan tradisional seperti congkak, ucing sumput (Petak Umpet, red) dan mamasakan. Terlebih hal tersebut, keadaanya sudah hampir punah.
Bahkan dia setiap hari selalu bermain congkak bersama teman sebayanya. Tapi, ada hal sedikit berbeda dalam alat yang digunakannya. Biasanya alat itu terbuat dari kayu yang diukir, atau tanah yang dilubangi. namun dia menggunakan congkak yang dibeli orang tuanya dari supermarket.
Memang alat itu dianggap modern menurut Ama (nama panggilannya), tapi setidaknya dia bersama temannya masih mengenal bagaimana permainan tradisional masih bisa dimainkan, kendati menggunakan alat modern terbuat dari plastic.
Sama halnya dengan Kayla (6th) teman sebayanya, memiliki kegemaran bermain permainan tradisional seperti ucing sumput. Dirinya mengaku, permainan tersebut unik untuk dilakukan dan asyik. Karena, permainan modern jarang diperkenalkan ibunya. Meskipun, dia suka merengek meminta permainan modern seperti Game Boat tapi tidak dibelikan orang tuanya. (Pipit)